Gagasan

Wisuda

Oleh: Martin Manurung

Bagi adik-adik wisudawan 2020, saya ucapkan selamat!

Saya, terus terang, gagal paham dengan gerakan memajang foto wisuda untuk “memberi semangat” bagi para wisudawan/wati yang tidak bisa mengikuti wisuda 2020 karena pandemi Covid-19 saat ini. Entah itu akan membuat adik-adik tambah semangat, atau justru tambah sedih. Entahlah.

Jika ketiadaan foto membuat sedih, Anda tidak sendirian. Saya pun tidak punya bukti foto wisuda, walaupun punya ijazah sama seperti kalian. Saat saya wisuda Sarjana S1 di Universitas Indonesia (UI) tahun 2001, saya sudah giat dalam aktivitas gerakan mahasiswa. Waktu itu memang masa reformasi yang menumbangkan rejim Orde Baru. Kebetulan, saya ikuti gerakan itu secara intens sambil kuliah dan menjadi asisten dosen di Fakultas Ekonomi UI.

Tahun 2001 itu pun sebenarnya saya tidak terlalu antusias mengikuti wisuda. Biasa-biasa saja. Akan tetapi, orang tua saya yang bersemangat. Mungkin karena saya anak tunggal, sehingga saya adalah satu-satunya pengalaman bagi orang tua untuk menghadiri wisuda anaknya.

Kawan baik saya, Budiman Sudjatmiko pun memberi pendapat bahwa saya sebaiknya mengikuti wisuda itu. Saran itu saya ikuti, bahkan Budiman turut hadir ke UI waktu itu. Acara wisuda saya jalani, dan segera setelahnya, tanpa “syukuran”, saya dan Budiman mengikuti suatu acara atau rapat yang saya tidak begitu ingat lagi. Pendeknya, wisuda itu berlalu cepat dan kami kembali ke aktivitas gerakan.

Setelah wisuda, sambil tetap aktif di gerakan, saya juga bekerja di sebuah perusahaan konsultan yang sudah saya jalani sebelum saya lulus S1. Memang, saya sudah bekerja sebelum lulus kuliah.

Tahun 2007, saya kembali mendapatkan kesempatan untuk wisuda. Kali itu, wisuda pasca sarjana S2 di University of East Anglia, Inggris, dengan beasiswa Chevening Award.

Orang tua saya kembali menyarankan agar saya ikuti wisuda. Akan tetapi, tahun itu saya sudah kembali ke Indonesia. Karena kuliah S2 saya jalani 1 tahun, sehingga saya sudah lulus tahun 2006. Jadi, sudah hampir 1 tahun saya pulang ke tanah air; sudah selesai kuliah walaupun belum wisuda.

Kali ini, saya katakan ke orang tua, “Papa dan mama kan sudah hadir di wisuda S1, cukuplah itu jadi pengalaman. Wisuda S2 sama saja seperti wisuda yang lain. Buat apa buang-buang uang untuk ongkos ke Inggris hanya untuk wisuda?” Saya akhirnya tidak mengikuti wisuda dan ijazahnya cukup dikirimkan via pos ke Jakarta.

Lagipula, kala itu saya sudah bekerja lagi. Kali ini, bekerja di perusahaan yang saya dirikan dengan beberapa kawan dan sudah memperoleh beberapa klien. Juga, saya tetap aktif di gerakan sosial dan politik.

Sekitar tahun 2009, seingat saya di akhir tahun, saya berjumpa dengan Surya Paloh. Jumpa pertama, kami berdiskusi tentang masalah-masalah bangsa. Saya suka dengan pikiran-pikiran Surya Paloh.

“Kita akan bertemu dan berdiskusi lagi. Anak-anak muda seperti kalian ini yang harus berperan,” kata Surya Paloh mengakhiri diskusi malam itu. Waktu itu saya berusia 31 tahun, memang masih anak muda. Ada juga kawan saya, Willy Aditya yang hadir dan berusia anak muda seperti saya.

Selanjutnya, kami bertemu dan berdiskusi lagi. Bertemu dan berdiskusi lagi, berkali-kali. Kesimpulannya, hasil-hasil diskusi itu memerlukan suatu gerakan agar tidak tinggal hanya di atas kertas.

Berdirilah Organisasi Kemasyarakatan Nasional Demokrat, Gerakan Perubahan Restorasi Indonesia.

Selanjutnya menjadi cerita sendiri yang lain waktu bisa kita lanjutkan. Hal yang terpenting adalah kelulusan (dan wisuda) adalah awal yang baru. Setiap orang tentu berhak merayakannya. Akan tetapi, segera setelahnya, tantangan baru sudah di depan mata. Hadapi tantangan itu dengan berani, ambil risiko dan berjuanglah untuk cita-cita.

Proficiat!

Martin Manurung
Anggota DPR RI Fraksi Partai NasDem

Tags

admin

Website Resmi Anggota DPR RI Martin Manurung, S.E., M.A.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close
Close