Kami saling memanggil dengan inisial nama. Saya memanggilnya “WW”, dan Wimar Witoelar memanggil saya “MM”. Kebetulan inisial kami sama-sama berhuruf kembar, bahkan hurufnya tinggal dibalik saja atas-bawah.
Pertama kali melihat WW tentu saja di layar TV. Sebuah program Talkshow yang bernama “Perspektif”. Mungkin tak berlebihan bila saya katakan Perspektif adalah awal dari program Talkshow TV Indonesia yang berkelas, berbobot, tajam dan kritis. Publik pun menyambutnya dan menjadi perbincangan. Mungkin karena itu pula lah program itu dibredel oleh rejim Orde Baru.
Walaupun dibredel, “Perspektif” di TV berubah menjadi “Perspektif Baru” di Media Indonesia dan ratusan radio di seluruh Indonesia. Seiring dengan masuknya internet di Indonesia kala itu, “Perspektif Baru” pun menjadi bacaan di website dan memiliki “mailing-list” di mana tiap penggemar dan pembacanya bisa saling berdiskusi langsung dengan WW.
Saya masih mahasiswa. Seingat saya, saat itu adalah masa-masa awal di Fakultas Ekonomi Universtitas Indonesia (FEUI). Ketika itu masa-masa menjelang dan awal reformasi 1998. Saking senangnya saya dengan pandangan-pandangan WW, saya menulis email kepadanya. Dan WW pun membalasnya!
Pada tahun 1999, entah apa yang menjadi pertimbangan WW, justru ia mengundang saya untuk diwawancarai pada program “Perspektif Baru”. Saya kaget dan terus terang sedikit grogi. Saya yang masih mahasiswa akan diwawancarai oleh WW yang waktu itu sudah menjadi ‘host’ yang terkenal!
Saya datang ke kantor WW di Fatmawati, Jakarta Selatan, untuk memenuhi undangan wawancara itu. Jadilah kemudian terbit di halaman 1 koran Media Indonesia dengan judul, “Kita Butuh Rezim yang Baru.” Terus terang, inilah pertama kali saya muncul di halaman 1 surat kabar nasional, lengkap pula dengan foto!
Cerita berikutnya adalah ketika WW menjadi salah satu penggagas Forum Rembug Nasional (FRN) di Bali. Ketika itu, ratusan orang diundang dari berbagai kalangan. Saya pun turut diundang dan saya yakin pasti WW yang mengusulkannya.
Dalam salah satu sesi Pleno, ketika itu Gus Dur sebagai Presiden menjadi narasumber dan moderatornya adalah WW. Pada sesi tanya jawab, saya memberanikan diri untuk bertanya pada Gus Dur. Saya mengangkat tangan dan WW dari mimbar menunjuk saya.
Kemudian, saya berdiri dengan kaki yang agak gemetar. Maklum, baru sekali itu saya bicara langsung kepada Presiden RI di tengah forum yang diisi oleh banyak tokoh-tokoh senior. Saya bertanya pada Gus Dur tentang 2 hal:
1. Mengapa Gus Dur seakan tidak tegas terhadap pengadilan terhadap Soeharto? Padahal, Gus Dur adalah salah satu ikon reformasi.
2. Apa sikap Gus Dur terhadap Indorayon, sebuah pabrik pulp di kampung saya Porsea, Kabupaten Tapanuli Utara (ketika itu), yang mendapat perlawanan rakyat akibat pencemaran lingkungan hidup?
Gus Dur menjawab saya ketika itu dengan nada yang agak “tinggi”, terutama soal pengadilan terhadap Soeharto. Jawaban itu kemudian menjadi headline di Harian Kompas. Inilah kali pertama saya masuk dalam berita headline surat kabar nasional.
Luar biasanya Gus Dur, kendati beliau dalam FRN menjawab saya dengan nada “tinggi”, justru itu yang membuat Gus Dur mengenal saya. Beberapa kali kami bertemu dan berdiskusi, tentu bersama WW juga. Ketika menyapa saya, Gus Dur dengan nada jenakanya kadang menyebut saya sebagai “NU Cabang Kristen”.
Episode selanjutnya, WW menjadi juru bicara Presiden. Saat itu, WW meminta saya untuk menjadi host “Perspektif Baru”. Tentu level saya masih jauh di bawah WW sebagai host, sehingga saya harus belajar banyak dan cepat. Saat menjadi host ini, saya bertemu dan mewawancarai puluhan tokoh. Ini adalah pengalaman yang luar biasa yang diberikan oleh WW kepada saya yang masih muda untuk bisa memiliki pandangan yang lebih matang.
Sayangnya, Gus Dur tak lama menjadi Presiden RI. Kita semua sudah tahu ceritanya dan saya tidak ingin mengulanginya di sini. Akan tetapi, satu hal yang saya ingat adalah posisi WW yang tetap membela Gus Dur, bahkan ketika ia tidak lagi menjadi juru bicara Presiden. Di sinilah saya belajar dari WW tentang arti loyalitas pada gagasan Gus Dur.
Banyak lagi cerita yang mungkin akan terlalu panjang bila saya tuliskan tentang WW. Saya hanya ingin mengatakan kepada WW: “Selamat jalan dan terima kasih telah menjadi bagian penting dalam hidup saya!”
Semoga Tuhan memeluk WW dengan kasih-Nya dan menguatkan semua keluarga yang ditinggalkan. Sampai bertemu kembali di sana, WW!