PANDEMI covid-19 yang melanda dunia pada akhir 2019 dan awal 2020 di Indonesia seketika membuat perekonomian lesu. Pergerakan dan perkumpulan manusia dibatasi yang berakibat pada sulitnya pabrik-pabrik beroperasi, transportasi dan distribusi terkendala, serta kerumunan di pasar pun dibatasi. Walaupun perdagangan masih terjadi via elektronik, volumenya belum bisa menyamai perdagangan secara konvensional.
Akibat berbagai pembatasan tersebut, pendapatan masyarakat menurun. Dampak yang paling terasa ialah pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang output-nya mencakup hampir 60% dari produk domestik bruto (PDB), dengan serapan tenaga kerja mencapai 97% dan sedikitnya 3,5 juta orang kehilangan pekerjaan atau dirumahkan (per Januari 2021).
Akibatnya, sisi permintaan (demand) seketika ambruk yang membuat pertumbuhan ekonomi pun turun drastis. Indonesia bahkan pernah mengalami resesi dengan kontraksi empat kali berturut-turut, sejak kuartal II 2020 dan mencapai puncaknya pada kuartal II 2021 sebesar -5,32%.
Secara terukur, pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan kebijakan counter-cyclical, yaitu menginjeksi lemahnya permintaan dengan serangkaian kebijakan seperti bantuan sosial, bantuan produktif usaha mikro (BPUM), dan kartu prakerja. DPR pun bahkan menyetujui pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi UU No 2 Tahun 2020.
Persetujuan DPR itu memberikan ruang yang lebih besar bagi pemerintah untuk melakukan realokasi dan refocussing anggaran serta memperlebar ruang defisit anggaran di atas 5%. Banyak pihak yang menilai bahwa DPR kala itu secara sukarela mengurangi kewenangan mereka sendiri dalam bidang anggaran. Akan tetapi, kita semua tentu menyadari bahwa kecepatan penanganan pandemi dan dampaknya terhadap perekonomian ialah kepentingan yang lebih besar dan mendesak.
Perubahan pascapandemi
Saat ini, walaupun pandemi covid-19 masih merebak dengan varian terbarunya, omikron, situasi dunia mulai berubah dengan cepat. Berbagai negara bahkan sudah menyatakan bahwa pandemi telah menjadi endemi sehingga berbagai aturan pembatasan tersebut di atas telah dilonggarkan, atau bahkan dicabut. Sebagai contoh ialah Inggris, Korea Selatan, Amerika Serikat, Hongaria, Swedia, dan Spanyol.
Beberapa negara lain, kendati masih menerapkan berbagai pembatasan, membuat aturan yang semakin dilonggarkan seperti Singapura, Australia, Denmark, Jerman, dan beberapa negara Eropa seperti Belanda, Prancis, dan Norwegia. Tentu, banyak perbedaan penerapan aturan dan status pandemi di tiap negara tersebut sesuai dengan kondisi masing-masing.
Saya tidak dalam posisi memperdebatkan pelonggaran aturan di berbagai negara di atas dari sisi kesehatan. Akan tetapi, saya ingin mengingatkan bahwa perubahan secara global itu memiliki konsekuensi ekonomi, yaitu potensi naiknya sisi permintaan (demand), baik secara global maupun nasional.
Rigiditas sisi penawaran
Lantas, apa dampaknya bila sisi permintaan naik secara drastis? Dampaknya ialah kenaikan harga secara umum (inflasi), yang diakibatkan lambatnya sisi penawaran melakukan penyesuaian (adjustment) secara mekanisme pasar. Fenomena itu secara teoretis dinamakan supply rigidity. Ekonom Inggris kenamaan, John Maynard Keynes, menyadari fenomena itu puluhan tahun yang lalu saat terjadinya Depresi Besar (the Great Depression) dalam bukunya, The General Theory of Employment, Interest, and Money.
Secara sederhana, supply rigidity itu menjelaskan sisi penawaran membutuhkan waktu untuk melakukan penyesuaian terhadap keseimbangan baru di pasar. Banyak faktor menjadi penyebabnya, antara lain regulasi, birokrasi, produksi, logistik, transportasi, distribusi, dan rantai pasokan (supply chain), yang keseluruhannya berujung pada jumlah ketersediaan barang yang ada di pasar, yang lebih rendah daripada permintaan.
Fenomena itulah yang kini mulai kita temukan di Indonesia dengan naiknya harga beberapa komoditas yang kini sedang heboh, di antaranya minyak goreng dan kedelai. Saya memperkirakan, dan telah mengingatkan kepada pemerintah, bahwa dua komoditas yang sekarang naik harganya ini barulah awal dari serangkaian potensi kenaikan harga komoditas-komoditas yang lain. Potensi itu juga akan lebih besar apabila komoditas tersebut terkait dengan perdagangan internasional (ekspor dan impor).
Indonesia tidak sendirian mengalami ini. Berbagai negara di dunia kini sedang mengalami inflasi. Sebagai contoh, inflasi di AS telah pecah rekor mencapai 7% per Desember 2021 yang merupakan angka tertinggi sejak 1982. Bahkan, inflasi per bulan di AS mencapai 0,5%. Negara-negara lain, seperti Singapura dan negara-negara Eropa, pun mengalami kenaikan inflasi masing-masing di kisaran 4%-5%.
Antisipasi ancaman stagflasi
Karena itu, pemerintah dan semua pihak terkait harus bergerak cepat melampaui kurva (to go beyond the curve) ‘mumpung’ inflasi di Indonesia saat ini masih terkendali. Menurut saya, kementerian-kementerian dan lembaga terkait harus segera membentuk tim terpadu untuk melihat langsung ke lapangan berapa tingkat produksi, bagaimana kondisi logistik dan transportasi, serta bila perlu memangkas rantai pasokan dan birokrasi untuk mempermudah dan mempercepat barang sampai di pasar atau di tingkat konsumen.
Apa dampaknya apabila supply rigidity itu lambat diatasi? Inflasi yang terjadi, apalagi bila meroket, akan ‘memaksa’ otoritas moneter untuk mengendalikannya melalui kenaikan tingkat suku bunga guna menurunkan jumlah uang beredar. Bila itu terjadi, tentu akan memberikan tekanan tambahan baik kepada produsen maupun konsumen, yang akan berlanjut pada melemahnya pertumbuhan ekonomi dan kemudian naiknya angka pengangguran.
Pada situasi ini, kita akan mengalami stagflasi yang menimbulkan dilema kebijakan ekonomi. Kebijakan pengendalian inflasi justru berdampak pada rendahnya pertumbuhan ekonomi, dan naiknya angka pengangguran. Sebaliknya, bila tidak dikendalikan, inflasi itu akan menurunkan daya beli masyarakat yang juga berujung pada melemahnya pertumbuhan ekonomi akibat sisi permintaan yang tertekan.
Kita tentu tidak menginginkan terjadinya stagflasi. Karena itu, langkah terpadu untuk membenahi sisi penawaran sebagaimana dijelaskan di atas harus dilakukan sejak sekarang!
Opini ini telah terbit di Media Indonesia pada Jumat, 25/2/2022.