“Martin, kuat dan tegarlah kamu, agar Nama Tuhan dipermuliakan!”
Ini adalah pesan terakhir yang saya dapatkan dari Ompui Ephorus Emeritus Pdt. Dr. SAE Nababan pada tanggal 14 November 2020, ketika Mama saya, Bintang Mutiara Sirait, pergi menghadap Tuhan akibat Covid-19.
Ketika itu, saya benar-benar kalut! Mama meninggal dunia, sementara Papa masih berada di RS Pusat Pertamina dalam kondisi masih berjuang menghadapi Covid-19. Bagaimana saya harus menghadapinya sendirian? Saya seorang anak tunggal; tanpa abang, kakak dan adik.
Pesan dari Ompui itu menghentak dan menyadarkan saya: tanpa Papa disamping saya, maka saya memang tidak punya pilihan lain; selain tegar dan kuat menghadapi seluruh proses pemakaman mama. Pemakaman yang menyayat hati, karena kepergian mama secara adat Batak seharusnya sudah “Saur Matua”, penghormatan adat yang tertinggi bagi orang tua, tetapi Covid-19 membuatnya harus dimakamkan secara kilat.
Dengan mengirim pesan itu, Ompui seakan tahu pergulatan batin saya ketika saat yang tersulit dalam hidup saya itu. Beliau memang guru saya sejak saya remaja. Berkali-kali Ompui memanggil saya ke rumahnya untuk berdiskusi, apalagi bila ada tamu yang harus dia terima. Di luar itu, kami sering bertukar pikiran.
Kepada saya, Ompui jarang menggurui. Beliau mendengar dan memberikan pendapat. Biasanya, pendapatnya singkat, langsung ke intinya, tetapi dengan logika yang kuat. Saya sering sulit membantahnya. Sering juga beliau menyebutkan sebuah judul buku dan kemudian saya mencarinya di toko dan membacanya. Pendeknya, pemikiran-pemikiran saya sampai dengan saat ini, sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Ompui SAE Nababan. Itu saya akui dengan bangga.
Ketika saya mendapatkan beasiswa ke Inggris di tahun 2005, kami menyelenggarakan ibadah singkat sehari sebelum keberangkatan. Saya beritahukan kepada beliau dan Ompui datang ke rumah bersama Ompung Boru. Saya masih ingat, beliau tidak memberikan “tips” tentang belajar dan lain sebagainya. Beliau malah memberi pesan tentang budaya di Inggris dan bagaimana saya harus menghadapinya. “Supaya kamu tidak stress,” katanya. Ketika itu, Ompui pun memberikan doa untuk menguatkan saya.
Karena itulah, ketika saya menemukan tambatan hati saya di tahun 2007, saya bersama papa dan mama datang ke rumahnya dan berkata, “Ompung, saya ingin menikah dan harus Ompung yang memberkati pernikahan saya!”
Seperti layaknya seorang ayah, serentetan pertanyaan muncul dari Ompui: Siapa yang menjadi calon mu? Tinggal di mana? Bagaimana keluarganya? Dll, dll… Kaget juga mendapat serentetan pertanyaan itu, tetapi semua pertanyaan itu saya jawab dengan apa adanya. Kesimpulannya, Ompui setuju dengan syarat bahwa kami berdua harus menyediakan waktu, berkali-kali, untuk “kursus pernikahan” dengan Ompui.
Tentu saja, ini syarat yang saya sendiri senang, karena saya akan belajar langsung dari seorang Teolog besar tentang pernikahan Kristen. Puji Tuhan, istri saya, atau ketika itu calon istri saya, dan keluarganya setuju, walaupun mereka sebenarnya terdaftar di Gereja yang berbeda dari kami dan Ompui. Akhirnya, Ompui pun memberkati pernikahan kami pada tanggal 3 November 2007 di HKBP Mampang Prapatan.
“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya,” Pengkhotbah 3:1. Itulah ayat yang menjadi khotbah Ompui SAE Nababan pada pernikahan kami. Sekarang pun, Ompung terkasih, Tuhan sudah menentukan waktuNya untuk mu kembali kepada-Nya.
HKBP, PGI, Indonesia dan Gereja Sedunia kehilangan seorang tokoh besar. Dan saya kehilangan seorang guru, bahkan “bapak rohani” saya. Selamat jalan Ompung! Kami mengasihimu dan Tuhan lebih mengasihi mu! []