Berita

Rupiah Terpuruk, Daya Beli Kian Mengkerut

Nilai tukar rupiah jatuh ke level terendah sejak krisis ekonomi 1998. Pelemahan rupiah dikhawatirkan akan menyebabkan kenaikan harga kebutuhan pokok dan menggerus daya beli masyarakat. Skema utang jumbo diprediksi memacu inflasi ke level yang lebih tinggi.

“Alhamdulillah”. Kata syukur itu terlontar dari mulut Taufiqurrahman, 37 tahun, seorang pedagang sembako di kawasan Limo, Depok, Jawa Barat. Ia masih bersyukur atas kenaikan pendapatan sepanjang Ramadan di tengah situasi ekonomi nasional yang morat-marit. Kenaikan pendapatan diakui Taufiq hanya berkisar lima persen. Namun, setidaknya itu menambal beban kebutuhan keluarga menjelang Idulfitri.

Kata Taufiq, terjadi peningkatan permintaan sembako di bulan Ramadan atau menjelang perayaan Idulfitri. Orang cenderung berbelanja bahan pokok seperti beras, minyak goreng, dan komoditas lainnya. Sebagai pengusaha kecil, Taufiq mengaku tidak terpengaruh dengan ingar bingar kondisi perekonomian nasional meski masifnya pemberitaan televisi terkait melemahnya nilai tukar rupiah dan kenaikan harga komoditas.

Pedagang membawa beras pesanan pembeli di kawasan pasar bina usaha Meulaboh, Aceh Barat, Aceh. (Doc. ANTARA Foto)
“Kita selaku pedagang tidak tahu persis kondisi ekonomi saat ini. Tahunya cuma harga barang di kulakan (grosir) naik, maka kita turut naikkan harga jual,” ujar Taufiqurrahman kepada insider, Jumat, 28 Maret 2025.

Dirinya mengaku pada saat Ramadan dan menjelang Idulfitri, harga sebagian barang atau komoditas naik. Namun, kenaikan harga tersebut merupakan reaksi dari hukum permintaan dan penawaran.

Di sisi lain, Taufiq mengaku berada dalam situasi dilematis, yakni menaikkan harga untuk melipatgandakan rasio keuntungan dan sekaligus khawatir kehilangan pelanggan yang biasa berbelanja di tokonya. “Karena kita sebagai pengecer tentu akan kebingungan akan menaruh harga berapa ke customer soalnya (kalau) ketinggian kasian juga,” katanya.

Taufiq mengungkap, beras menjadi komoditas utama yang mengalami lonjakan harga yang signifikan selama Ramadan dan Idulfitri. Sementara untuk komoditas lain seperti telur dan minyak goreng relatif normal. “Beras naiknya cukup tinggi,” ucap Taufiq.

Seingatnya harga beras medium dalam satu karung—setara 50 kilogram—berkisar antara Rp600 ribu hingga Rp650 ribu sebelum Ramadan. Namun, pada saat Ramadan menjelang Lebaran harganya melonjak menjadi Rp700 ribu. Padahal merujuk Harga Pangan dari situs resmi Badan Pangan Nasional (Bapanas) di tanggal pengamatan 28 Maret 2025, harga beras medium di Kota Depok berkisar di Rp12.500 per kilogram atau berkisar Rp625 ribu per satu karung.

“Naiknya memang dari grosir. Kalau kita pedagang kecil hanya ambil untung Rp500 per liternya,” tutur Taufiq. Menurut Taufiq, meski harga beras sempat mengalami kenaikan tapi itu tidak berpengaruh besar terhadap daya beli konsumen. Terlebih, banyak pedagang warung, mahasiswa, dan penghuni kos-kosan yang menjadi pelanggan rutin beras dagangannya.

Selain itu, Taufiq membeberkan tantangan lainnya dalam berniaga seperti kasus kecurangan takaran MinyaKita yang menimbulkan kehebohan di masyarakat. Dirinya menyebut, mencuatnya kasus tersebut membuat konsumen tidak mau membeli MinyaKita dan beralih ke produk lain. Alhasil, MinyaKita di tokonya tidak laku lantaran masyarakat lebih memilih merek lain sekalipun harganya lebih mahal.

“Kemarin saya sempat nyetok MinyaKita sebelum bulan puasa. Itu agak banyak. Tapi sampai sekarang masih banyak yang belum laku,” tuturnya dengan nada pelan. Taufiq berharap pemerintah memperhatikan stabilitas harga bahan pokok sehingga tidak memberatkan masyarakat dan menurunkan daya beli. “Pemerintah harus melakukan intervensi pasar agar harga kebutuhan pokok tetap normal,” pungkas Taufiq.

Diberitakan sebelumnya, rupiah jatuh ke level terendah sejak krisis keuangan melanda Asia pada 1998. Rupiah melemah dan sempat menyentuh 16.718 per dolar AS pada 4 April 2025. Angka ini mendekati rekor terendah, yakni 16.800 per dolar AS pada Juni 1998—tahun jatuhnya rezim Soeharto setelah lebih dari tiga dekade berkuasa.

Dalam pengamatan Freesca Syafitri, pemerhati kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, berbagai tekanan ekonomi baik internal maupun eksternal menggerus daya beli kelas menengah. Fenomena tersebut dinilai dapat membuat ekonomi stagnan terlebih apabila tekanan berlangsung lama.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati didampingi Wakil Menteri Thomas Djiwandono dan Suahasil Nazara saat konferensi pers hasil lelang SUN di Kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, pada Selasa, 18 Maret 2025. (Doc. ANTARA Foto)
“Pelemahan rupiah yang menyebabkan kenaikan harga kebutuhan pokok akan menggerus daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah yang memiliki elastisitas konsumsi tinggi terhadap perubahan harga,” ujar Freesca Syafitri kepada insider.

Freesca menyebut, tekanan pada konsumsi rumah tangga menjadi perhatian utama mengingat sektor tersebut menyumbang lebih dari 55 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Itu sebabnya, pemerintah perlu proaktif melakukan intervensi sebab saat ini konsumsi rumah tangga mengalami tekanan yang cukup lama.

Freesca menambahkan, Ramadan hingga Idulfitri yang biasanya menjadi momen peningkatan konsumsi dapat berubah menjadi periode pelemahan permintaan domestik jika inflasi terlalu tinggi.

Dalam kondisi tersebut, rumah tangga cenderung mengurangi pengeluaran untuk barang non-esensial dan lebih fokus pada kebutuhan dasar, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Pelemahan rupiah yang terjadi sejak awal tahun dan terus berlanjut hingga periode Ramadan dan Idulfitri 2025 bukan hanya masalah nilai tukar, tetapi juga berpotensi menjadi faktor yang mempercepat inflasi, menggerus daya beli, dan memperbesar beban fiskal negara. “Jika tidak diatasi dengan kebijakan yang tepat dan responsif, dampaknya bisa lebih luas terhadap stabilitas ekonomi nasional,” kata Freesca.

Dalam pandangannya, pemerintah perlu memastikan strategi stabilisasi harga pangan dan energi berjalan efektif. Sementara kebijakan moneter tetap selaras dengan upaya menjaga pertumbuhan ekonomi.

Ia menekankan pentingnya koordinasi yang kuat antara otoritas fiskal dan moneter, serta kebijakan yang berbasis pada data ekonomi yang akurat. Pemerintah harus mampu meminimalisasi dampak negatif pelemahan rupiah dan memastikan momentum pertumbuhan ekonomi tetap terjaga meski berada dalam tekanan eksternal.

Setelah melewati masa pemulihan dari pandemi COVID-19, banyak pihak berharap tahun 2025 akan menjadi momentum kebangkitan ekonomi nasional. “Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama 2025 diperkirakan melambat bahkan bisa jatuh di bawah 5 persen. Penyebab utamanya turunnya daya beli masyarakat, yang diperparah oleh berkurangnya stimulus ekonomi dan bantuan sosial,” tuturnya.

Penurunan daya beli, tambah Fressca, tidak hanya disebabkan oleh absennya stimulus pemerintah, tetapi juga efek dari kebijakan efisiensi anggaran yang semakin membatasi ruang fiskal untuk intervensi ekonomi. “Dalam situasi di mana harga kebutuhan pokok cenderung meningkat, masyarakat kelas menengah ke bawah menghadapi tekanan ekonomi yang lebih berat,” katanya.

Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia mengalami penyusutan dari 21,5 persen pada 2019 menjadi hanya 17,1 persen pada 2024. “Dalam menghadapi situasi ini, kebijakan ekonomi pemerintah harus lebih proaktif. Tanpa intervensi yang tepat dan terukur, ancaman stagnasi ekonomi di 2025 menjadi semakin nyata,” pungkasnya.

Pelemahan rupiah terhadap dolar AS kini menjadi isu besar. Dalam tiga bulan terakhir, nilai tukar rupiah terus melemah sehingga menimbulkan dampak besar bagi perekonomian nasional. Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengungkapkan terdapat lima faktor utama yang memicu pelemahan rupiah. Salah satunya adalah sentimen negatif terkait kondisi ekonomi dan politik di Amerika Serikat (AS).

Para investor global cenderung mengalihkan aset mereka ke instrumen yang lebih aman (flight to quality) sehingga menyebabkan arus modal keluar dari Indonesia. Tercatat, penjualan bersih asing (net sell) mencapai Rp36,5 triliun dalam tiga bulan terakhir.

Tidak hanya itu, kebijakan pengalihan saham BUMN ke Danantara juga menimbulkan kecemasan di kalangan investor. Kekhawatiran utama terkait tata kelola perusahaan dan potensi pengurangan dividen. “Ini membuat investor berpikir ulang untuk tetap menanamkan modalnya di Indonesia,” kata Bhima Yudhistira ketika dihubungi insider, Jumat, 28 Maret 2025.

Di sisi lain, ekspor komoditas utama seperti batubara, nikel, dan barang tambang lainnya turut mengalami pelemahan. Penurunan permintaan global terhadap bahan mentah dan olahan primer turut memperburuk situasi, mengurangi pendapatan devisa negara yang berperan penting menjaga stabilitas rupiah.

Saat Ramadan dan mendekati musim mudik Lebaran, pergerakan ekonomi juga cenderung melambat. Investor semakin berhati-hati dalam memproyeksikan daya beli masyarakat pasca-Lebaran, yang diprediksi akan mengalami perlambatan signifikan.

Faktor terakhir yakni kinerja fiskal APBN yang masih belum optimal. Penerimaan pajak belum mencapai target, sementara belanja pemerintah dinilai kurang efisien. “Beban utang pemerintah pun meningkat cukup tajam pada kuartal pertama 2025, menambah tekanan terhadap nilai tukar rupiah,” kata Bhima.

Ia menyebut, dampak dari pelemahan rupiah paling dirasakan oleh masyarakat. Biaya impor meningkat, membuat harga barang kebutuhan sehari-hari melonjak. Gandum, bawang putih, dan kedelai—komoditas yang sebagian besar diimpor—berpotensi mengalami kenaikan harga drastis. Jika tidak diantisipasi, ini dapat memicu lonjakan inflasi yang semakin memberatkan masyarakat kecil.

Tak hanya itu, dunia kerja juga terancam. Perusahaan yang bergantung pada bahan baku impor akan menghadapi kenaikan biaya produksi signifikan. Mereka juga harus membayar utang luar negeri dengan kurs yang lebih tinggi. “Jika kondisi ini terus berlanjut, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa menjadi kenyataan yang pahit,” tutur Bhima.

Ditambah lagi beban APBN yang semakin berat. Pemerintah harus mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk subsidi energi akibat pelemahan rupiah. Dampaknya, harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik berpotensi naik, membuat tekanan ekonomi masyarakat semakin tinggi.

Di sisi lain, Bhima melihat upaya yang dilakukan pemerintah masih jauh panggang dari api. Ia mengingatkan, tingginya minat investor asing di lelang surat utang pemerintah seharusnya dipandang sebagai alarm peringatan.

“Investor asing beralih dari pasar saham Indonesia ke surat utang karena imbal hasilnya (yield) meningkat. Meski tampak menguntungkan, ini sebenarnya pertanda buruk karena menunjukkan bahwa risiko keuangan negara juga meningkat,” tuturnya.

Bhima mengingatkan jika Indonesia terus menambah utang maka dampaknya bisa meluas ke nilai tukar rupiah dan memicu krisis yang lebih besar.

Bagi Bank Indonesia, pelemahan rupiah saat ini tidak dapat dibandingkan dengan krisis 1998. Perbedaan utama terletak pada laju depresiasi yang lebih terkendali serta sistem keuangan yang lebih kuat saat ini.

“Situasi sekarang sangat berbeda dengan 1998. Kala itu, depresiasi rupiah terjadi dalam waktu singkat dan sangat tajam. Saat ini, depresiasi berjalan bertahap, mengikuti dinamika pasar keuangan global,” ujar Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP) Bank Indonesia, Solikin M. Juhro dalam kegiatan Taklimat Media di Jakarta pada Rabu, 26 Maret 2025.

Apalagi kata Solikin, posisi cadangan devisa Indonesia saat ini jauh lebih kuat dibandingkan saat krisis 1998. Pada Februari 2025, cadangan devisa tercatat 154,5 miliar dolar AS, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan cadangan devisa pada 1998 yang hanya berkisar 20 miliar dolar AS. Selain itu, dirinya menyebut defisit transaksi berjalan masih terkendali pada -0,32 persen dari PDB.

Menurutnya, Indonesia kini memiliki mekanisme pengawasan sektor keuangan yang jauh lebih baik, termasuk keberadaan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang berperan dalam mendeteksi dan menangani potensi krisis sejak dini.

“Dulu, kerentanan di sektor keuangan dan utang tidak teridentifikasi dengan baik. Sekarang, Bank Indonesia dan pemerintah memiliki mekanisme yang lebih kuat untuk mendeteksi potensi pelemahan ekonomi,” ucap Solikin.

Solikin menjelaskan, dibandingkan dengan sejumlah negara lain, kondisi ekonomi Indonesia menunjukkan kestabilan. Ia mencontohkan India yang inflasinya sebesar 5,52% sedangkan Indonesia berada pada level yang terkendali di angka 1,57%. “Seakan-akan IHSG yang turun drastis, ketahanan nilai tukar, seakan-akan ekonomi kita jelek. Padahal, enggak begitu,” katanya.

Salah satu dampak melemahnya nilai tukar rupiah yakni melambungnya beban utang luar negeri pemerintah. Di tahun ini, pemerintah dikabarkan menarik utang baru melalui Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp361,97 triliun hingga Maret 2025. Dalam beberapa tahun terakhir, defisit anggaran secara signifikan meningkatkan rasio utang terhadap PDB Indonesia. Rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB pada tahun 2024 tercatat sebesar 39,36 persen, naik dari 39,21 persen di tahun 2023.

Lembaga think-tank ekonomi, Center for Market Education Indonesia (CME-ID) menyarankan pemerintah Indonesia berhati-hati menyikapi penambahan rasio utang. “Defisit anggaran meningkatkan jumlah uang yang beredar di masyarakat (M2). Ketika jumlah uang beredar tumbuh melampaui pertumbuhan PDB, hal tersebut akan menyebabkan inflasi yang mengakibatkan masyarakat menjadi lebih miskin,” kata Country Manager CME-ID Alfian Banjaransari.

Faktor kedua, yakni adanya reaksi pasar modal ketika pemerintah memutuskan mengeluarkan lebih banyak utang. Hal itu meningkatkan permintaan dana pinjaman, dan juga menaikkan suku bunga. Suku bunga yang tinggi menyebabkan lebih banyak dana yang tersedia tetapi mengurangi jumlah yang terserap oleh sektor swasta. “Akibatnya, investasi di sektor swasta berkurang,” tuturnya.

Alfian menyarankan pemerintah untuk mencari terobosan yang lebih cermat dalam mengelola utang publik. “Alih-alih meningkatkan pengeluaran, pemerintah perlu berfokus kepada restrukturisasi ekonomi untuk menghasilkan ekonomi yang berpusat pada inovasi sektor swasta sebagai penggerak utama roda perekonomian,” pungkasnya.

Dalam pandangan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fauzi H. Amro, pelemahan rupiah yang terus berlanjut bisa memicu revisi asumsi makro dalam APBN. Jika nilai tukar terus tertekan dan melewati ambang batas yang ditetapkan, DPR akan mendesak langkah korektif dari pemerintah.

“Terkait kemungkinan revisi asumsi makro, termasuk nilai tukar rupiah dalam APBN, tentu akan kami pertimbangkan jika pelemahan ini berlanjut. Ini bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi dampaknya sangat nyata bagi daya beli masyarakat dan harga kebutuhan pokok,” ujar Fauzi H Amro dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, 27 Maret 2025.

Ia juga menekankan, perlindungan sosial harus menjadi prioritas agar masyarakat tidak menanggung dampak dari depresiasi rupiah. Menurutnya pelemahan rupiah akan terasa pada penurunan daya beli masyarakat dan kenaikan harga kebutuhan pokok. “Kami tidak ingin rakyat menjadi korban pertama. Jika diperlukan, DPR akan mendorong alokasi anggaran yang lebih besar untuk jaring pengaman sosial guna meredam dampak pelemahan rupiah,” katanya.

Fauzi mendesak pemerintah, khususnya otoritas fiskal dan moneter, untuk segera mengambil langkah konkret guna menjaga stabilitas ekonomi. Menurutnya, kepercayaan pasar harus dipulihkan agar nilai tukar tidak terus tertekan. “Situasi ini harus ditangani dengan cepat dan tepat. Jika tidak, beban ekonomi yang ditanggung masyarakat akan semakin berat,” tegasnya.

Warga mencari informasi lowongan pekerjaan saat bursa kerja di Thamrin City, Jakarta, pada Rabu, 12 Maret 2025. (Doc. ANTARA Foto)
Terpisah, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi NasDem, Martin Manurung menilai kondisi ekonomi akan kembali membaik setelah tahap penyesuaian (adjustment) pasar terhadap kebijakan pemerintahan Prabowo selesai. Menurutnya, masyarakat harus menunggu hingga akhir semester satu untuk melihat ekonomi kembali menggeliat.

“Fundamental ekonomi sampai saat ini masih cukup baik,” ujar Martin Manurung kepada insider, Kamis, 27 Maret 2025. Martin menyebut, rontoknya IHSG hingga ke titik terendah hanya fenomena sesaat yang tidak bisa dijadikan patokan bahwa ekonomi Indonesia sedang buruk.

Begitu juga dengan lemahnya rupiah hanya menjadi faktor jangka pendek sehingga tidak bisa jadi tolok ukur dalam melihat kondisi ekonomi secara holistik. “Faktor sesaat itu bersifat dinamis, kapan saja bisa berubah, baik mengalami kenaikan maupun penurunan secara radikal,” ucap Martin.

Selain karena faktor di dalam negeri, terdapat juga faktor luar yang memengaruhi kondisi perekonomian di Indonesia. Menurut Martin, perekonomian global saat ini sedang tidak menentu, sehingga Indonesia harus mencari cara agar ekonomi Indonesia kokoh tanpa harus terpengaruh dengan gejolak yang terjadi di luar negeri.

“Menurut saya, pemerintah perlu memperkuat faktor dalam negeri, seperti menahan hasil devisa ekspor, menyiapkan keberlanjutan hilirisasi, dan lain sebagainya,” ucap dia.

Sumber : inilah.com
Editor : Andhika Dinata, Ucha Julistian Mone, dan M. Hafid
Jurnalis : Andhika Dinata, Ucha Julistian Mone, dan M. Hafid

admin

Website Resmi Anggota DPR RI Martin Manurung, S.E., M.A.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close
Close